Nikel telah bertransformasi dari sekadar komoditas tambang menjadi mineral strategis global, didorong oleh revolusi kendaraan listrik dan kebutuhan akan baterai lithium-ion. Sebagai pemilik cadangan nikel terbesar di dunia, Strategi Indonesia saat ini berfokus pada hilirisasi, yaitu mengolah bijih nikel mentah menjadi produk bernilai tambah tinggi di dalam negeri, alih-alih mengekspornya dalam bentuk mentah. Strategi Indonesia ini merupakan langkah ambisius untuk mengubah status negara dari pemasok bahan baku menjadi pemain kunci dalam rantai pasok global baterai kendaraan listrik. Upaya ini bertujuan untuk memaksimalkan keuntungan ekonomi, menciptakan lapangan kerja, dan memastikan pembangunan industri yang berkelanjutan.
Kebijakan Larangan Ekspor dan Industrialisasi
Pilar utama dari Strategi Indonesia ini adalah kebijakan larangan ekspor bijih nikel mentah. Larangan ini, yang secara efektif berlaku sejak 1 Januari 2020, memaksa investor asing dan domestik untuk membangun fasilitas pengolahan dan pemurnian (smelter) di Indonesia. Tujuannya jelas: meningkatkan nilai tambah. Nilai ekspor bijih nikel yang mentah (sekitar $30 per ton) dapat meningkat berkali-kali lipat ketika diolah menjadi ferronickel atau, yang lebih canggih, produk kimia prekursor baterai (seperti nikel sulfat), dengan nilai mencapai ribuan dolar per ton.
Hingga akhir tahun 2024, Indonesia telah berhasil mengoperasikan puluhan fasilitas pemurnian nikel, dan beberapa proyek besar kini berfokus pada tahap yang lebih lanjut, yaitu produksi bahan katoda. Proyek-proyek ini umumnya berlokasi di kawasan industri terintegrasi, seperti di Morowali, Sulawesi Tengah, yang kini menjadi pusat gravitasi industri nikel global.
Fokus pada Rantai Pasok Baterai
Strategi Indonesia tidak berhenti pada ferronickel atau nickel pig iron (NPI). Langkah paling agresif adalah berinvestasi besar-besaran untuk memasuki rantai pasok baterai. Proses pembuatan baterai membutuhkan nikel dengan kemurnian tinggi. Untuk bijih nikel jenis laterit berkadar rendah (limonite), diperlukan teknologi High Pressure Acid Leaching (HPAL) untuk menghasilkan Mixed Hydroxide Precipitate (MHP) yang kemudian diolah menjadi nikel sulfat, bahan baku utama katoda baterai.
Pemerintah Indonesia, melalui berbagai Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan kerja sama dengan investor asing (terutama dari Asia Timur), menargetkan pembangunan ekosistem baterai terintegrasi secara penuh, mulai dari penambangan, pemurnian, hingga perakitan sel baterai. Dengan demikian, Indonesia menargetkan dapat memproduksi 50% kebutuhan nikel dunia untuk baterai pada tahun 2030, menjadikannya pemain dominan dalam transisi energi global. Investasi kumulatif di sektor hilirisasi nikel dilaporkan telah mencapai lebih dari $30 miliar per data 30 September 2025.