Gas Alam Terperangkap: Teknik Pengeboran Fracking dan Tantangan Lingkungan dalam Ekstraksi Shale Gas

Ekstraksi gas alam terperangkap, atau yang dikenal sebagai shale gas, merupakan salah satu terobosan besar dalam industri energi global, namun sekaligus memunculkan perdebatan sengit. Untuk mengakses sumber daya yang tersimpan di dalam lapisan batuan serpih yang memiliki permeabilitas sangat rendah, para operator harus menggunakan Teknik Pengeboran non-konvensional yang revolusioner, yaitu Hydraulic Fracturing, atau yang lebih populer disebut Fracking. Metode ini memungkinkan gas metana yang terperangkap dalam pori-pori batuan untuk mengalir keluar menuju sumur produksi.

Proses dan Mekanisme Hydraulic Fracturing

Shale gas adalah jenis gas alam non-konvensional yang terletak pada kedalaman yang umumnya melebihi 1.500 meter, jauh di bawah lapisan air tanah. Proses ekstraksinya dimulai dengan pengeboran vertikal hingga mencapai lapisan batuan shale. Setelah itu, para insinyur beralih ke pengeboran horizontal yang bisa memanjang hingga ribuan meter di dalam lapisan shale, memaksimalkan area kontak dengan cadangan gas. Ini merupakan kunci utama keberhasilan teknik pengeboran ini.

Setelah sumur disiapkan, proses fracking dimulai. Cairan perekah, yang merupakan campuran dari air, pasir (proppant), dan sejumlah kecil bahan kimia, dipompa ke dalam sumur pada tekanan yang sangat tinggi. Tekanan luar biasa ini memecahkan batuan shale dan menciptakan rekahan (fractures) kecil. Pasir atau proppant berfungsi menahan rekahan agar tetap terbuka setelah tekanan dilepaskan, sehingga gas metana dapat mengalir dari batuan, menuju lubang sumur, dan akhirnya ke permukaan. Penggunaan teknik pengeboran yang menggabungkan sumur horizontal dan multi-stage fracturing telah meningkatkan jumlah gas yang dapat dipulihkan secara signifikan, mengubah lanskap energi global. Sebagai contoh data operasional, sebuah perusahaan energi fiktif, Energi Pradipa Raya (EPR), melaporkan bahwa pada hari Rabu, 21 Agustus 2024, di lokasi eksplorasi Blok Serpih Jaya, mereka berhasil menyelesaikan tahap ke-12 dari proses multi-stage fracturing pada sumur horizontal dengan kedalaman vertikal mencapai 3.200 meter.

Tantangan Lingkungan dan Regulasi

Meskipun teknik pengeboran fracking menawarkan potensi energi yang besar, metode ini tidak luput dari kritik dan menimbulkan sejumlah tantangan lingkungan yang serius.

Pertama, Konsumsi Air yang Besar. Fracking membutuhkan volume air yang sangat besar untuk setiap sumur. Hal ini menimbulkan kekhawatiran mengenai dampaknya terhadap ketersediaan sumber daya air lokal, terutama di wilayah yang rentan terhadap kekeringan. Misalnya, pengambilalihan air dari sungai atau waduk untuk keperluan fracking dapat mengganggu ekosistem air lokal.

Kedua, Pengelolaan Air Limbah. Air yang kembali ke permukaan (disebut flowback dan produced water) terkontaminasi oleh bahan kimia perekah yang disuntikkan, serta zat alami seperti logam berat dan unsur radioaktif dari bawah tanah. Pengelolaan dan pembuangan air limbah ini memerlukan prosedur yang ketat untuk mencegah kontaminasi air permukaan dan air tanah. Data dari Balai Penelitian Lingkungan Geologi (BPLG), fiktif, mencatat bahwa volume air limbah yang dihasilkan per sumur rata-rata adalah 15.000 meter kubik, yang memerlukan pemrosesan khusus sebelum dapat dibuang atau disuntikkan kembali.

Ketiga, Risiko Pencemaran Air Tanah. Meskipun pengeboran dilakukan jauh di bawah akuifer (lapisan air tanah), ada kekhawatiran bahwa rekahan dapat menjalar hingga ke lapisan air tanah, atau kebocoran dapat terjadi melalui casing sumur yang rusak, memungkinkan gas metana dan cairan fracking mencemari sumber air minum. Isu kebocoran gas metana—gas rumah kaca yang sangat kuat—dari sumur yang tidak disegel dengan baik juga menjadi perhatian utama dalam konteks perubahan iklim.

Keempat, Aktivitas Seismik. Injeksi volume air limbah yang besar ke dalam sumur pembuangan di bawah tanah juga dikaitkan dengan peningkatan aktivitas seismik (gempa bumi) kecil di beberapa wilayah. Badan Pengawas Energi Nasional (BPEN), fiktif, mengeluarkan peringatan pada tanggal 9 September 2024 kepada operator di Blok Serpih Barat setelah terjadi tiga kali tremor mikro dalam sepekan terakhir, menuntut penyesuaian pada volume dan kecepatan injeksi air limbah.

Mengatasi tantangan-tantangan ini memerlukan regulasi yang ketat dan teknologi pengeboran yang lebih aman, menuntut transparansi dalam komposisi bahan kimia yang digunakan, serta pemantauan seismik dan kualitas air secara berkala. Kesuksesan ekstraksi shale gas di masa depan sangat bergantung pada keseimbangan antara potensi energi dan perlindungan lingkungan.