Dilema Kekayaan Bumi: Menghitung Neraca Untung-Rugi Pertambangan bagi Pertumbuhan Ekonomi Lokal

Sektor pertambangan seringkali dipandang sebagai pedang bermata dua bagi perekonomian lokal. Di satu sisi, ia menjanjikan gelombang investasi, penciptaan lapangan kerja, dan lonjakan pendapatan daerah. Namun, di sisi lain, kegiatan ini membawa risiko kerusakan lingkungan yang permanen dan instabilitas sosial. Menghitung neraca untung-rugi secara akurat menjadi tantangan utama, dan inilah inti dari Dilema Kekayaan Bumi yang dihadapi oleh banyak pemerintah daerah yang kaya sumber daya alam. Untuk memastikan bahwa manfaat ekonomi yang dihasilkan bersifat berkelanjutan, diperlukan analisis mendalam terhadap dampak jangka pendek dan jangka panjang dari operasional pertambangan.

Keuntungan ekonomi jangka pendek dari pertambangan sangat jelas dan langsung. Di Kabupaten fiktif “Tambang Jaya,” misalnya, setelah dibukanya operasional tambang nikel skala besar oleh PT Mitra Logam Sejati pada tahun 2023, data dari Dinas Tenaga Kerja setempat mencatat penyerapan 5.000 tenaga kerja baru, di mana 60% di antaranya adalah penduduk lokal. Selain itu, setoran royalti dan pajak daerah (Pajak Air Permukaan) yang dibayarkan oleh perusahaan mencapai Rp 50 miliar per tahun, yang secara signifikan meningkatkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Dana ini, yang mulai efektif digunakan sejak triwulan kedua 2024 (April-Juni), dialokasikan untuk pembangunan infrastruktur publik seperti jalan akses utama sepanjang 15 km dan peningkatan fasilitas kesehatan di desa-desa sekitar tambang. Kehadiran perusahaan ini juga memicu multiplier effect, meningkatkan pendapatan bagi pedagang lokal dan jasa penginapan.

Namun, di balik angka-angka positif tersebut, tersembunyi risiko yang membentuk Dilema Kekayaan Bumi. Dampak lingkungan dan sosial seringkali menjadi kerugian yang sulit dihitung dengan uang. Contohnya, laporan dari lembaga swadaya masyarakat lokal (LSM Lingkar Hijau) pada tanggal 10 Oktober 2024 menunjukkan adanya peningkatan sedimentasi dan pencemaran air sungai di sekitar area penambangan. Fenomena ini mengancam mata pencaharian 200 kepala keluarga yang bergantung pada perikanan air tawar di sepanjang aliran Sungai Citarum Kecil. Petugas kepolisian dari Satuan Reserse Kriminal Polres Tambang Jaya, yang dikepalai oleh Kompol. Ahmad Fauzi, S.H., bahkan harus turun tangan pada hari Jumat, 25 Oktober 2024, untuk menengahi konflik lahan antara perusahaan dan warga adat.

Untuk mengatasi Dilema Kekayaan Bumi ini, pemerintah daerah harus mewajibkan hilirisasi, bukan sekadar ekspor bahan mentah. Dengan membangun pabrik pengolahan di lokasi, nilai tambah, transfer teknologi, dan penyerapan tenaga kerja terampil akan meningkat. Kunci utamanya adalah manajemen yang ketat, transparansi penggunaan dana royalti, dan penegakan hukum lingkungan yang tegas, memastikan bahwa keuntungan ekonomi tidak dicapai dengan mengorbankan masa depan ekologi dan sosial masyarakat.