Indonesia memegang kunci vital dalam rantai pasok energi global masa depan berkat cadangan nikel yang melimpah, bahan baku utama dalam produksi baterai lithium. Ambisi negara ini tidak berhenti pada ekspor bahan mentah, melainkan bertujuan menjadi pemain utama dalam industri kendaraan listrik (EV) global. Untuk mewujudkan visi tersebut, pemerintah Indonesia gencar menerapkan Strategi Hilirisasi yang komprehensif, bertujuan untuk mengubah nikel mentah menjadi komponen baterai bernilai tambah tinggi, dan akhirnya, menjadi produsen baterai kendaraan listrik global terkemuka. Strategi Hilirisasi ini adalah lompatan penting dari status eksportir komoditas menjadi kekuatan manufaktur teknologi.
Pilar pertama dari Strategi Hilirisasi ini adalah kebijakan larangan ekspor bijih nikel mentah yang mulai diberlakukan secara efektif. Kebijakan ini memaksa perusahaan tambang untuk membangun fasilitas pemurnian dan pengolahan (smelter) di dalam negeri. Fasilitas ini mengolah bijih nikel menjadi produk antara seperti Nickel Pig Iron (NPI) dan Ferronickel, dan yang lebih penting, menjadi bahan baku baterai seperti Nickel Sulfate dan Precursor. Peningkatan nilai tambah ini sangat signifikan. Menurut data dari Badan Pusat Statistik (BPS) dan Kementerian Investasi per 15 Agustus 2025, nilai ekspor produk olahan nikel (termasuk ferronickel dan nickel matte) telah melonjak hingga lebih dari US$30 miliar per tahun, jauh melampaui nilai ekspor bijih mentah.
Pilar kedua adalah menarik investasi asing langsung (FDI) dalam pembangunan rantai pasok baterai terintegrasi. Indonesia tidak hanya ingin mengolah nikel, tetapi juga memproduksi katoda, sel baterai, hingga perakitan paket baterai. Pemerintah telah berhasil menarik konsorsium global besar dari Korea Selatan dan Tiongkok untuk mendirikan pabrik di kawasan industri terintegrasi. Contohnya, pembangunan pabrik katoda di Kawasan Industri Weda Bay, yang dijadwalkan mulai beroperasi penuh pada triwulan kedua tahun 2026, menjadi bukti nyata keseriusan Strategi Hilirisasi ini. Pabrik ini tidak hanya menciptakan ribuan lapangan kerja baru, tetapi juga menjamin pasokan komponen baterai yang stabil di dalam negeri.
Pilar ketiga adalah pengembangan ekosistem domestik. Ini mencakup investasi dalam penelitian dan pengembangan (R&D) untuk teknologi baterai, termasuk baterai berbasis Sodium-ion yang lebih sesuai dengan kondisi sumber daya alam Indonesia di masa depan. Selain itu, Strategi Hilirisasi juga fokus pada pengembangan industri daur ulang baterai (recycling), memastikan bahwa siklus hidup baterai EV tertutup (closed-loop), sejalan dengan prinsip ekonomi sirkular dan target lingkungan global. Indonesia Battery Corporation (IBC), yang dibentuk pemerintah, berperan sebagai ujung tombak untuk mengkoordinasikan seluruh rantai nilai dari hulu ke hilir.
Meskipun Strategi Hilirisasi menghadapi tantangan besar terkait infrastruktur energi hijau dan keahlian tenaga kerja, langkah-langkah yang diambil menunjukkan komitmen Indonesia untuk menjadi pusat manufaktur EV regional dan global, memanfaatkan keunggulan sumber daya alamnya untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang bernilai tambah tinggi dan berkelanjutan.